Dalam sejarah kota-kota besar di Indonesia, ancaman narkotika selalu hadir seperti arus bawah tanah. Tidak terlihat dari permukaan, tetapi selalu menggerus fondasi sosial. Kita kerap memandangnya sebagai persoalan kriminal semata, padahal narkoba adalah soal kemanusiaan, soal hilangnya masa depan, dan soal lingkungan sosial yang dibiarkan rapuh terlalu lama. Ketika pengguna terus bertambah, jaringan peredaran semakin licin, dan modus penyelundupan makin kreatif, pertanyaannya bukan lagi siapa yang harus bergerak, tetapi kapan kita mulai bertindak bersama?
Kenyataannya, perang melawan narkoba tak lagi cukup hanya mengandalkan pendekatan keamanan. Aparat penegak hukum memang memegang peran vital, tetapi tanpa dukungan masyarakat, sekolah, keluarga, tokoh agama hingga sektor swasta, agenda pemberantasan narkoba hanya akan menjadi serangkaian razia yang tak menyentuh akar persoalan. Di titik inilah penting menata ulang persepsi kita, narkoba bukan sekadar masalah kriminal, melainkan kegagalan kolektif dalam membangun ruang aman sosial.
Di lingkungan perkotaan yang padat, para pengguna kerap tumbuh dari ruang yang sama. Wilayah yang minim ruang interaksi sehat, keluarga yang tak lagi saling berbicara, sekolah yang lebih sibuk mengejar angka ketimbang memelihara dialog, dan masyarakat yang semakin sibuk dengan diri masing-masing. Ketika ruang sosial melemah, peluang peredaran barang haram itu justru menguat. Celah kecil dalam pengawasan lingkungan segera menjadi pintu besar bagi jaringan peredaran.
Dalam pola perkembangan terbaru, narkoba bahkan mulai merambah jalur digital. Transaksi dilakukan lewat aplikasi pesan, pembayaran lewat dompet elektronik, dan distribusi memanfaatkan kurir tanpa identitas. Ketika teknologi berkembang tanpa etika sosial yang mengimbangi, ia menjadi kendaraan empuk bagi kejahatan. Kita pun dipaksa memahami bahwa pemberantasan narkoba di era ini membutuhkan kecakapan baru bukan hanya patroli fisik, tetapi literasi digital, kemampuan deteksi dini, dan kolaborasi lintas sektor.
Di tengah lanskap yang rumit itu, sejumlah lembaga tetap bekerja keras menjaga masyarakat dari ancaman narkoba. Salah satu lembaga yang paling aktif adalah BNN Jakarta, yang selama ini menjadi garda depan dalam edukasi, pencegahan, hingga rehabilitasi. Namun, sebesar apa pun upaya lembaga resmi, mereka tak akan mampu bekerja sendirian. Sebab persoalan narkoba adalah persoalan yang menempel pada struktur masyarakat itu sendiri.
Ketika sebuah kampung melaporkan aktivitas mencurigakan di rumah kontrakan yang baru dihuni dua pekan, itu adalah bentuk keberanian warga yang harus dirawat. Ketika sekolah mengundang konselor untuk berbicara tentang bahaya narkoba, itu adalah tanda bahwa pendidikan bukan hanya tentang mata pelajaran, tetapi juga masa depan murid-muridnya.
Ketika kelompok pemuda membentuk komunitas olahraga malam untuk mengurangi kerentanan anak muda pada aktivitas berisiko, itu adalah bukti bahwa solidaritas masih menjadi kekuatan paling nyata dalam menjaga lingkungan di perkotaan.
Kita tidak sedang mencari pahlawan tunggal. Kita mencari ekosistem yang saling menopang. Sebab yang kita hadapi bukan sekadar jaringan pengedar yang bergerak dalam senyap, melainkan cara hidup yang perlahan menggantikan rasa kebersamaan dengan keterasingan. Di lingkungan yang sehat, anak muda tidak perlu mencari pelarian. Di keluarga yang terbuka, percakapan terjadi bahkan sebelum masalah diberi kesempatan tumbuh. Di masyarakat yang berdaya, ruang untuk narkoba semakin sempit.
Namun membangun ekosistem ini tak bisa didelegasikan hanya pada lembaga pemerintah. Pemerintah daerah harus memperkuat sistem layanan kesehatan mental, menyediakan ruang publik yang aman, dan memastikan program pencegahan berjalan di tingkat kelurahan. Dunia usaha perlu membuka ruang kegiatan sosial bagi karyawan muda agar mereka tidak terjebak tekanan kerja yang mendorong perilaku adiktif. Organisasi masyarakat sipil perlu memperluas edukasi hingga ke wilayah pinggiran kota. Tokoh agama harus merawat nilai moral bukan dengan menghakimi, tetapi mendampingi.
Kolaborasi bukan jargon. Kolaborasi adalah kerja panjang yang dimulai dari hal kecil, tetangga yang saling menyapa, RT yang aktif mencatat mobilitas penghuni baru, guru yang memperhatikan perubahan perilaku muridnya, hingga kantor yang menyediakan program pendampingan psikologis. Sebab narkoba seringkali muncul dari celah-celah yang tak kita sadari. Celah yang hanya bisa ditutup oleh solidaritas sosial yang kuat.
Kita pun perlu mengubah sikap terhadap para pengguna. Mengisolasi mereka hanya akan membuat masalah semakin dalam. Rehabilitasi harus menjadi prioritas, bukan pilihan terakhir. Kita sering lupa bahwa pengguna adalah korban pertama dari sistem sosial yang tak hadir tepat waktu. Mereka membutuhkan pemulihan, bukan penolakan. Dalam konteks ini, lembaga seperti BNN Jakarta berperan besar dalam menyediakan layanan rehabilitasi dan pendampingan yang manusiawi.
Upaya melawan narkoba bukanlah perlombaan jangka pendek, melainkan maraton sosial. Tak ada garis akhir yang benar-benar menutup ancaman ini, tetapi setiap langkah kolektif dapat menekan ruang geraknya. Ketika masyarakat bahu-membahu menjaga lingkungannya, ketika sekolah dan keluarga menjadi benteng nilai, ketika pemerintah dan lembaga resmi bekerja berdampingan dengan masyarakat, ancaman narkoba bukan lagi monster tak terlihat melainkan tantangan yang bisa kita tangani bersama.
Hari ini, kita dihadapkan pada pilihan sederhana namun menentukan antara membiarkan narkoba terus menggerogoti kota, atau membangun kubu pertahanan sosial yang melibatkan semua orang. Kita tentu memilih yang kedua. Sebab melawan narkoba bukan hanya tentang menindak pelaku, tetapi tentang merawat masa depan. Tentang memastikan bahwa generasi berikutnya tumbuh dalam ruang yang aman, sehat, dan penuh harapan.
Dan untuk itu, kita tidak boleh berjalan sendirian. Kita harus bergerak bersama.
